Peradaban manusia terus melaju kencang di atas roda inovasi dan kemajuan teknologi. Mimpi tentang dunia utopis, sebuah tatanan tanpa kekurangan, penderitaan, bahkan mungkin ketidakpastian, seolah semakin mendekat. Namun, sebuah pertanyaan mendasar mengusik: benarkah kemudahan absolut yang dijanjikan teknologi akan berbanding lurus dengan kebahagiaan hakiki manusia?
Sebuah perspektif menarik muncul dari konten kreator bernama Vian, yang dalam salah satu karyanya mengupas paradoks kebahagiaan dalam lintasan sejarah peradaban. Alih-alih merayakan utopia sebagai puncak evolusi manusia, Vian justru menawarkan pandangan yang lebih kontemplatif. Ia berargumen bahwa hilangnya tantangan dan perjuangan dalam kehidupan yang serba mudah justru berpotensi menggerogoti esensi kebahagiaan itu sendiri.
Gagasan ini bertolak dari sifat dasar manusia yang tak pernah sepenuhnya merasa puas. Sejarah mencatat, setiap kali satu kebutuhan terpenuhi, keinginan baru segera membayangi. Utopia statis, sebuah kondisi sempurna tanpa gejolak, mungkin hanyalah ilusi yang tak akan pernah mampu memuaskan dahaga eksistensial manusia.
Lebih jauh, Vian menyoroti nilai inheren yang terkandung dalam perjuangan dan tantangan. Bukankah rasa pencapaian terasa lebih manis setelah melalui serangkaian rintangan? Kemudahan akses instan terhadap segala hal di dunia utopis berisiko menghilangkan apresiasi terhadap proses dan hasil jerih payah. Kebahagiaan, dalam konteks ini, bukan lagi buah dari usaha, melainkan komoditas yang tersedia tanpa perlu diperjuangkan.
Harapan, sang nahkoda jiwa, juga terancam di dunia yang serba pasti. Keinginan yang mudah dipenuhi menghilangkan daya dorong untuk berjuang dan meraih sesuatu yang lebih baik. Tanpa ketidakpastian dan tantangan, arah dan motivasi hidup bisa meredup. Manusia, yang terbiasa menatap masa depan dengan impian yang diperjuangkan, berpotensi kehilangan jangkar eksistensinya.
Ironisnya, justru keterbatasan dan ketidaksempurnaan dalam kehidupan saat ini yang memberikan kontras, mempertajam rasa syukur, dan menjadikan momen-momen kebahagiaan terasa lebih otentik. Senyum setelah air mata, lega setelah kecemasan, semua itu adalah warna-warni emosi yang membentuk lanskap kehidupan yang bermakna. Dunia utopis yang steril dari kesulitan berpotensi merampas kekayaan emosional ini.
Bayangkan sebuah dunia di mana semua keinginan terpenuhi dalam sekejap. Alih-alih euforia abadi, yang mungkin muncul adalah kekosongan eksistensial yang lebih menakutkan daripada kesulitan itu sendiri. Manusia, yang secara kodrati mencari makna dan tujuan, bisa terombang-ambing tanpa kompas di tengah lautan kemudahan.
Vian bahkan berspekulasi tentang siklus pencarian kebahagiaan. Generasi masa lalu mendambakan utopia, namun bukan tidak mungkin generasi masa depan justru merindukan kompleksitas dan dinamika kehidupan yang penuh tantangan, sebuah ironi yang menggelitik pemikiran.
Teknologi, meskipun mampu memanjakan fisik dan bahkan menciptakan ilusi emosi, memiliki batas dalam memberikan makna yang mendalam. Nilai sejati seringkali tumbuh dari interaksi manusia yang otentik, perjuangan bersama, dan harapan yang diusahakan. Semua itu adalah elemen kemanusiaan yang sulit direplikasi oleh kecerdasan buatan.
Sebagai makhluk yang adaptif, manusia mungkin akan mencari cara baru untuk menciptakan tantangan dan tujuan, bahkan di tengah kelimpahan utopia. Namun, pertanyaan besarnya adalah, mampukah tantangan buatan ini menggantikan kepuasan yang timbul dari mengatasi kesulitan nyata?
Di tengah perenungan tentang utopia dan kebahagiaan, Vian menyentuh dimensi spiritualitas. Cinta dan hubungan dengan Sang Pencipta, sebuah aspek yang melampaui logika teknologi, mungkin menjadi satu-satunya esensi abadi yang tidak dapat direplikasi dan menjadi sumber makna yang tak lekang oleh waktu.
Pada akhirnya, gagasan yang dilontarkan Vian mengajak kita untuk tidak hanya terpukau pada janji kemudahan teknologi. Lebih dari itu, kita perlu merenungkan kembali hakikat kebahagiaan sejati. Bukan semata-mata tentang pemenuhan kebutuhan dan ketiadaan penderitaan, melainkan juga tentang proses, perjuangan, harapan, dan kemampuan untuk mengapresiasi setiap nuansa kehidupan, termasuk ketidaksempurnaannya. Utopia yang menghilangkan elemen-elemen ini berpotensi menjadi sangkar emas yang justru merenggut kebahagiaan hakiki manusia.
Artikel ini disarikan dari Video Youtube Vian Flash dengan judul : MANUSIA MENJADI TUHAN, GARA-GARA TEKNOLOGI