Setelah merdeka pada tahun 1945, Indonesia belum benar-benar bisa bernapas lega. Meski proklamasi sudah dikumandangkan, Belanda masih ingin kembali menguasai Indonesia. Mereka melancarkan agresi militer untuk mengambil kembali wilayah jajahannya. Untungnya, berkat tekanan dari dunia internasional, akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949—meskipun Papua Barat belum diserahkan saat itu.
Namun, kemerdekaan itu membawa tantangan baru. Indonesia berbentuk negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat, hasil perjanjian dengan Belanda. Sistem ini dianggap terlalu banyak dipengaruhi oleh Belanda, sehingga pada tahun 1950, Indonesia menggantinya dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950). Sistem ini mengatur bentuk pemerintahan parlementer dan menjamin kebebasan rakyat.
Pada masa awal kemerdekaan hingga 1965, Indonesia mengalami dinamika politik yang cukup rumit. Empat kelompok besar sering berselisih: militer, kelompok Islam, komunis, dan nasionalis. Masing-masing punya pandangan berbeda soal bagaimana seharusnya Indonesia dibangun. Kelompok Islam ingin negara berdasarkan syariah, militer ingin peran politik lebih besar, komunis punya kekuatan politik sendiri, dan nasionalis fokus pada kebebasan rakyat. Untuk menyatukan semua perbedaan ini, Soekarno, Hatta, dan Moh. Yamin merumuskan Pancasila sebagai dasar negara, agar seluruh rakyat Indonesia bisa bersatu dalam keberagaman.
Namun, sistem parlementer pada 1950-an berjalan tidak stabil. Banyak pergantian kabinet dan konflik politik. Dalam Pemilu pertama tahun 1955, rakyat Indonesia memilih wakilnya secara langsung. Tapi tetap saja, gejolak terus terjadi, termasuk pemberontakan dari kelompok Darul Islam, PRRI, dan Permesta di berbagai daerah.
Pada tahun 1959, Soekarno mengubah sistem pemerintahan menjadi Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan lebih banyak berada di tangannya. Ia membubarkan parlemen dan menunjuk sendiri anggota baru. Untuk menyeimbangkan kekuatan militer yang makin besar, Soekarno menggandeng Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengusung konsep “Nasakom” (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Namun, ketiga unsur ini tidak pernah benar-benar bisa bersatu. Semua hanya bisa berjalan karena karisma Soekarno.
Puncaknya terjadi pada Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) yang menewaskan beberapa jenderal. Militer kemudian mengambil alih kekuasaan dan Soeharto mulai tampil sebagai tokoh utama. Setelah dua tahun, Soeharto secara perlahan menyingkirkan Soekarno dan mengambil alih tampuk kepemimpinan. Inilah awal dari Era Orde Baru.
Pada 11 Maret 1966, Soekarno menandatangani Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), yang memberi wewenang kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi. Soeharto segera melarang PKI, menyingkirkan lawan politik, dan memperkuat militer. Tahun 1968, ia resmi menjadi Presiden Indonesia.
Orde Baru sangat menekankan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, bukan lagi politik ideologis seperti masa Soekarno. Hubungan dengan negara Barat dipulihkan, dan Indonesia mulai menerima bantuan luar negeri. Partai-partai politik disederhanakan menjadi tiga: Golkar, PPP, dan PDI. Semua organisasi, termasuk sosial dan keagamaan, diwajibkan memakai asas tunggal Pancasila.
Rezim ini menggunakan berbagai ide untuk memperkuat kekuasaannya, seperti konsep negara integralistik, anti-komunisme, dan Dwi Fungsi ABRI—di mana militer tidak hanya bertugas menjaga pertahanan keamanan, tapi juga terlibat dalam pemerintahan. Kritik terhadap pemerintah dibungkam. Pers dibatasi. Banyak kasus pelanggaran HAM dan kekerasan politik terjadi.
Pada akhir 1990-an, saat krisis ekonomi Asia melanda, Indonesia termasuk negara yang paling parah terkena dampaknya. Harga-harga melonjak, pengangguran meningkat, dan rakyat mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Kerusuhan besar terjadi di Jakarta pada Mei 1998, dan lebih dari seribu orang tewas. Tekanan rakyat semakin kuat, hingga akhirnya pada 21 Mei 1998, Presiden RI Ke 2, Soeharto mengundurkan diri. Wakil Presiden B.J. Habibie kemudian naik menggantikan, dan Indonesia memasuki babak baru yang disebut Era Reformasi.