Dalam sejenak kita mengingat sejarah, kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah yang datang dengan mudah. Ia diperoleh melalui darah, air mata, dan keberanian tanpa batas para pahlawan yang membela tanah air dari penjajahan. Semangat itu diabadikan dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945: bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
Namun, pertanyaannya kini adalah apakah semangat bela negara masih hidup dalam sanubari generasi muda Indonesia? Atau telah tergerus ooleh perkembangan zaman modern?
Pemerintah pernah menggulirkan wacana penerapan wajib militer (wamil) sebagai bentuk aktualisasi dari bela negara. Tapi seperti layaknya setiap kebijakan strategis, usulan ini memunculkan dua kutub ekstrem: pendukung yang memandangnya sebagai solusi karakter bangsa, dan penolak yang khawatir pada militerisasi sipil. Di tengah tarik ulur ini, mari kita renungkan, perlukah Indonesia menerapkan wajib militer?
Belajar dari Negara Lain: Ketika Militer Menjadi Sekolah Karakter
Indonesia bukan satu-satunya negara yang pernah menimbang wajib militer. Bahkan, beberapa negara maju dan demokratis termasuk negara tentangga seperti Singapura, telah menerapkannya secara sistematis dan terbukti efektif dalam membentuk karakter serta memperkuat pertahanan nasional.
- Korea Selatan: Negara ini mengharuskan semua pria sehat berusia 18–28 tahun mengikuti wajib militer selama ±18–21 bulan, tergantung matra militer yang dipilih. Dalam konteks ancaman konstan dari Korea Utara, wamil menjadi simbol kewajiban patriotik. Namun lebih dari itu, ia menjadi ritus kedewasaan sosial yang membentuk kedisiplinan dan tanggung jawab generasi muda.
- Israel: Di negara ini, wajib militer berlaku untuk pria dan wanita. Laki-laki menjalani sekitar 2,5 tahun dan perempuan sekitar 2 tahun. Dengan populasi kecil dan dikelilingi oleh negara-negara yang sempat bermusuhan, Israel menjadikan rakyatnya sebagai tulang punggung pertahanan nasional. Selain itu, militer juga menjadi ruang meritokrasi di mana warga dari semua latar belakang berbaur dan belajar keterampilan penting.
- Singapura: Sejak 1967, Singapura telah menetapkan National Service selama 2 tahun bagi semua pria. Dengan pendekatan teknologi tinggi dan efisiensi ala negeri kota, wamil mereka bahkan diintegrasikan dalam pengembangan karier sipil—misalnya dengan cuti wajib militer yang diakui oleh perusahaan.
- Swiss: Negara netral ini tetap menerapkan wamil dalam bentuk pelayanan militer atau sipil. Ini membuktikan bahwa wajib militer tidak identik dengan agresivitas, tetapi bisa menjadi sarana edukasi pertahanan sipil dan kesiapsiagaan bencana.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan salah satu contohnya seperti terorisme, separatisme, perang informasi dan disinformasi digital dan konflik global, seperti perang di Ukraina dan Timur Tengah, serta yang terbaru konflik India-Pakistan, tentunya berdampak signifikan pada Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi dan geopolitik. Gangguan rantai pasok, kenaikan harga komoditas, dan ketidakpastian global mempengaruhi perekonomian Indonesia. Indonesia juga perlu waspada terhadap potensi eskalasi ketegangan di kawasan Asia-Pasifik yang bisa saja meletus kapan saja. Namun, kesadaran bela negara di kalangan masyarakat masih minim.
Seperti dicatat dalam jurnal Utari Maharani Noor (2020), kesenjangan antara prinsip konstitusional dengan implementasi nyata sangat terasa. Rakyat belum sepenuhnya merasa memiliki peran strategis dalam sistem pertahanan negara.
Ironisnya, Undang-Undang Nomor 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer sebenarnya telah ada, namun belum pernah dijalankan secara nasional dan menurut informasi dari peraturan.bpk.go.id. telah dicabut. Pelatihan militer dasar hanya berlaku bagi TNI. Upaya bela negara lainnya hanya terbatas pada ceramah wawasan kebangsaan atau apel upacara bendera, yang sifatnya simbolik dan kurang menyentuh dimensi karakter.
Penerapan wajib militer di Indonesia seharusnya bisa diterapkan, tetapi tidak sekadar meniru mentah-mentah model dari negara lain seperti Korea Selatan atau Israel. Indonesia memiliki karakter sosial, sejarah, dan budaya yang unik terbentuk dari keberagaman dan dinamika masyarakat yang kompleks. Maka dari itu, pendekatan yang diambil perlu dirancang secara kontekstual, sebagai model hibrida yang adaptif dan membumi.
Pertama-tama, wajib militer tidak boleh dipaksakan, melainkan opsi terhormat bagi warga negara yang ingin berkontribusi lebih bagi tanah airnya. Pendekatan ini justru bisa memunculkan kebanggaan nasional, jika dibarengi dengan insentif nyata seperti beasiswa pendidikan, jaminan karier di instansi pemerintah, atau poin tambahan dalam seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan demikian, wamil menjadi sebuah kesempatan, bukan kewajiban yang membebani.
Selain itu, integrasi bela negara dalam dunia pendidikan dan pekerjaan juga sangat penting. Bayangkan jika mata pelajaran atau mata kuliah bela negara menjadi bagian dari kurikulum wajib di sekolah dan diperguruan tinggi bukan dalam bentuk ceramah normatif semata, melainkan melalui kegiatan berbasis karakter, simulasi kepemimpinan, simulasi kedaruratan atau pelatihan tanggap bencana. Di sisi lain, pelatihan militer ringan bisa menjadi bagian dari program orientasi di lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan dan perusahaan BUMN. Dengan cara ini, semangat bela negara tidak berhenti di kamp militer, tapi menyatu dalam kehidupan sipil sehari-hari.
Untuk menjawab tantangan fleksibilitas zaman, kita juga bisa merancang sistem pelatihan modular. Sebagai contoh, program intensif selama tiga bulan yang dapat diikuti oleh pelajar setingkat SMA, mahasiswa, ASN, atau karyawan swasta, tanpa mengganggu rutinitas kerja atau studi. Mereka bisa mengambil pelatihan ini di waktu tertentu, secara berkala, bahkan dengan format blended menggabungkan materi daring dan praktik lapangan.
Yang tak kalah penting, semangat dari program ini bukan untuk mempersenjatai rakyat, melainkan untuk menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, patriotisme, tanggung jawab sosial, dan cinta tanah air. Senjata, dalam konteks ini, bukanlah simbol kekuatan, melainkan simbol kesiapsiagaan. Karena hakikat bela negara bukanlah tentang menjadi prajurit tempur, tetapi menjadi warga negara yang tangguh, peduli, dan siap berkontribusi di medan pengabdian apa pun. Dengan pendekatan seperti ini, wamil bisa menjadi bukan sekadar agenda pertahanan, tapi juga instrumen pembangunan karakter nasional yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Penerapan wajib militer, jika dirancang dengan bijak dan inklusif, bisa menjadi tembok pertahanan internal yang lebih kokoh. Karena sejatinya, bela negara bukan sekadar tugas tentara. Ia adalah tanggung jawab kita semua.
Cep Asjul.