Bayangkan sebuah malam yang gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi lautan api yang menggila. Langit yang biasanya sunyi kini diselimuti kepulan asap hitam pekat, aroma kayu terbakar menusuk hidung, dan dentuman ledakan bergema di seluruh penjuru kota. Tapi ini bukan sekadar bencana, ini adalah bentuk perlawanan tanpa kompromi! Inilah Bandung Lautan Api, sebuah peristiwa yang lebih dari sekadar kobaran api—ini adalah ledakan semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya!
Pasca Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia bukannya bisa bernapas lega. Sebaliknya, ancaman baru datang dari Pasukan Sekutu (AFNEI) yang tiba di Bandung pada 12 Oktober 1945 dengan dalih menjaga ketertiban dan membebaskan tawanan perang Jepang. Namun, ada penumpang gelap dalam rombongan ini: Belanda melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yang datang dengan ambisi menguasai kembali Nusantara.
Situasi semakin panas. Para pejuang dan rakyat Bandung tak tinggal diam. Mereka tahu, jika kota ini jatuh ke tangan Belanda, perjuangan akan semakin sulit. Maka, TRI (Tentara Republik Indonesia) dan para pemuda revolusioner mulai melancarkan serangan mendadak ke markas Sekutu. Hotel Homan dan Hotel Preanger, pusat komando mereka, menjadi sasaran utama. Ledakan demi ledakan mengguncang Bandung. Suara tembakan bersahutan. Pesan mereka jelas: Bandung bukan untuk dijajah kembali!
Serangan heroik rakyat Bandung membuat Sekutu kalang kabut. Pada 27 November 1945, Kolonel MacDonald mengeluarkan ultimatum: Bandung Utara harus dikosongkan dalam waktu 48 jam, atau mereka akan bertindak keras. Namun, bagi rakyat Bandung, ini bukan perintah, melainkan tantangan! Mereka menolak mundur begitu saja dan justru meningkatkan serangan. Semangat perjuangan terus membara, semakin menyala dengan setiap ancaman yang datang.
Situasi mencapai puncaknya pada 17 Maret 1946. Letnan Jenderal Montagu Stopford, Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta, mengeluarkan ultimatum baru: TRI harus meninggalkan Bandung Selatan dalam radius 11 kilometer dari pusat kota. Kali ini, tekanan datang dari pemerintah pusat. Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yang memilih jalur diplomasi, meminta TRI untuk mundur.
Namun, Jenderal Mayor Didi Kartasasmita dan Kolonel A.H. Nasution punya rencana lain. Mundur bukan berarti menyerah. Jika Bandung harus ditinggalkan, maka mereka akan memastikan kota ini tidak bisa digunakan oleh musuh. Perintah pun dikeluarkan: Bakar Bandung!
Ketika matahari mulai tenggelam pada 24 Maret 1946, gelombang besar pengungsian terjadi. Warga meninggalkan rumah mereka dengan berat hati, tetapi bukan tanpa tujuan. Sebelum pergi, mereka menyalakan api di rumah masing-masing, membiarkan si jago merah menari dengan liar. Gedung-gedung utama dan fasilitas strategis dihancurkan dengan dinamit.
Ledakan pertama terjadi lebih awal dari yang direncanakan—sekitar pukul 20.00 di Gedung Indische Restaurant. Ini menjadi tanda tak resmi bagi seluruh kota: Mulai bakar Bandung! Dalam hitungan jam, langit Bandung berubah menjadi neraka yang menyala-nyala. Api merambat, bangunan demi bangunan runtuh, dan kobaran merah melahap seluruh bagian kota.
Dari kejauhan, Bandung tampak seperti samudra api yang mengamuk, menari dalam gelapnya malam. Di setiap sudut kota, api bukan hanya membakar bangunan, tetapi juga membakar semangat perlawanan yang tak pernah padam. Cahaya merah menyala bukan sekadar pertanda kehancuran, tetapi simbol keberanian, tekad, dan pengorbanan yang luar biasa.
Peristiwa ini bukan hanya aksi heroik, tetapi juga strategi perang yang cerdas. Sekutu akhirnya hanya bisa menduduki puing-puing kota yang sudah hangus. Mereka kehilangan Bandung sebagai markas strategis, sementara para pejuang melanjutkan perjuangan dari luar kota.
Bandung Lautan Api bukan sekadar kisah lama yang hanya tercatat dalam buku sejarah. Ia adalah api yang tetap menyala dalam hati setiap pejuang kemerdekaan. Ia mengajarkan bahwa ketika kebebasan dipertaruhkan, tidak ada harga yang terlalu mahal untuk mempertahankannya.
Kini, 24 Maret diperingati sebagai hari bersejarah, bukan hanya untuk Bandung, tetapi untuk Indonesia. Sebab, keberanian rakyat Bandung telah mengajarkan kita satu hal: lebih baik kota ini hancur dalam kobaran api perjuangan, daripada hidup dalam bayang-bayang penjajahan!
Bandung bukan sekadar kota, Bandung adalah simbol perlawanan!