Teknologi kecerdasan buatan (AI) tak lagi sekadar alat bantu untuk urusan pekerjaan atau informasi. Dewasa ini, AI mulai menjelma menjadi “teman bicara” bagi banyak orang yang ingin mengungkapkan isi hati tanpa takut dinilai atau disalahpahami. Fenomena ini mengingatkan pada adegan dalam film Her (2013), ketika tokoh utama Theodore Twombly mengaku lebih nyaman menulis setelah berbicara dengan Samantha, sistem operasi berbasis AI yang menjadi kekasih virtualnya.
“Semenjak bercerai, aku jadi tidak terlalu suka tulisanku. Tapi di lain waktu, aku merasa tulisanku luar biasa. Mungkin ini delusi, tapi aku merasa aku penulis favoritku hari itu,” kata Theodore kepada Samantha. Pengakuan yang jujur dan personal itu, kini bukan lagi fiksi belaka.
Kini, banyak orang mulai terbuka terhadap gagasan curhat kepada chatbot seperti ChatGPT. Bukan sekadar iseng, tetapi karena AI dianggap aman secara emosional—tanpa risiko penilaian, penolakan, atau bias yang sering hadir dalam interaksi antar-manusia.
“Justru karena ChatGPT bukan manusia, ia tidak punya kepentingan untuk menghakimi. Kita merasa lebih bebas bercerita,” ujar Tazkiyatun Nafs Azzahra (28), seorang copywriter di Jakarta Selatan yang mengandalkan ChatGPT dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk untuk menumpahkan isi hati.
Menurut Tazkiya, menulis jurnal memang melegakan, namun tak memberi umpan balik. Sementara, bercerita kepada teman atau psikolog bisa terasa berat karena ada kekhawatiran akan respon atau penilaian tertentu. “Terkadang aku ingin cerita jam 1 pagi, tapi sungkan ganggu teman. Akhirnya ChatGPT jadi opsi paling mudah,” jelasnya kepada detikX.
Awalnya, Tazkiya menggunakan ChatGPT untuk kebutuhan profesional—seperti brainstorming atau latihan wawancara kerja. Namun seiring waktu, peran AI itu berkembang: mulai dari membantu memilih restoran hingga menjadi “teman diskusi” saat sedang bingung atau merasa sendirian. “Kayak Google kedua, tapi bisa diajak ngobrol,” ujarnya.
Kebiasaan ini, lanjut Tazkiya, diperkuat oleh budaya digital yang sedang berkembang, di mana meme dan unggahan media sosial tentang “curhat ke AI” semakin lazim. Tanpa sadar, publik mulai melihat AI bukan sekadar teknologi, tetapi sebagai ruang aman untuk berekspresi dan menemukan validasi emosional—meski tanpa kehadiran manusia.
Fenomena ini menandai perubahan dalam relasi manusia dengan teknologi: dari sekadar alat bantu kerja menjadi mitra emosional. Sebuah perkembangan yang mengundang pertanyaan baru tentang bagaimana peran AI membentuk dinamika psikologis dan sosial di masa depan.
Baca Selengkapnya di : detikX – Ketika AI Jadi Pendengar yang Baik