Pernahkah Anda membayangkan orang yang telah meninggal dunia, kembali ke rumah Anda? Bukan sebagai arwah, melainkan dalam wujud fisik, namun dengan tatapan mata kosong, mulut berliur, dan perilaku ganjil yang membuat bulu kudok merinding. Inilah kengerian yang dialami Marna, seorang wanita dari kampung nelayan kecil di pesisir Kalimantan, saat suami dan abangnya yang telah hilang di laut, tiba-tiba muncul kembali di rumahnya pada suatu malam yang basah oleh hujan dan petir.
Novel “Ekspedisi Tembok Ya’jud Ma’jud“ karya Fatiha, yang diterbitkan oleh Nyaman Media Publisher, dibuka dengan adegan horor personal yang menyentuh ketakutan terdalam kita. Namun, kisah Marna hanyalah gerbang pembuka menuju sebuah narasi yang jauh lebih besar, yang mengikat erat fiksi ilmiah, teori konspirasi, geopolitik, dan eskatologi (ilmu tentang akhir zaman) ke dalam sebuah petualangan yang memicu adrenalin sekaligus mengajak kita untuk merenung secara mendalam.
Dari Ritual Ganjil Hingga Konspirasi Global
Cerita kemudian membawa kita jauh dari kampung nelayan Marna, ke sebuah tanah lapang di Thailand, 36 tahun sebelum virus melanda dunia. Di sini, kita diperkenalkan pada sebuah sekte pimpinan lelaki tua asal Indonesia bernama Mbah Goor. Mereka sedang melakukan sebuah ritual agung: “mengubur” guru mereka, Annaliese, untuk tidur panjang selama 27 tahun.
Namun, ini bukanlah ritual ilmu hitam biasa. Di sinilah novel mulai memadukan hal mistis dengan sains. Annaliese tidak hanya dimantrai, tubuhnya juga ditanami ribuan nano robot seukuran sperma manusia. Tujuannya? Untuk meregenerasi tubuhnya agar ia bangkit kembali di masa depan, bukan lagi sebagai manusia biasa, melainkan setengah jin dengan umur panjang , dan tubuh yang tetap utuh meski jantungnya telah diambil.
Kisah Annaliese, yang kemudian disebut “Inang 001”, menjadi titik awal dari sebuah wabah global. Bertahun-tahun kemudian, jasadnya yang awet muda ditemukan oleh sebuah perusahaan medis asal Perancis. Mereka menemukan bahwa tubuh Annaliese memproduksi bakteri magnetotactic—bakteri alami dalam tubuh manusia—sepuluh kali lebih banyak, yang membuat nano robot di tubuhnya tetap aktif. Inilah cikal bakal dari “Virus Yajud Majud”, sebuah penyakit yang lahir dari bakteri orang mati.
Jaringan 5G.01, Virus, dan Reset Dunia
Novel ini secara cerdas merangkai sebuah teori konspirasi yang kompleks namun disajikan dengan alur yang mudah diikuti. Seorang agen geopolitik bernama Mr. G, atau Galin, mengungkap sebuah rencana besar dari kelompok elite global yang disebut “Mistisisme”. Mereka adalah kumpulan ilmuwan dari berbagai bidang—dokter, fisikawan, bahkan ahli mistis—yang bertujuan untuk “mereset ulang” dunia.
Bagaimana caranya? Melalui kombinasi virus dan teknologi.
- Pesan Tersembunyi: Mereka menyebarkan pesan melalui peristiwa global yang disiarkan sebagai hiburan, bukan berita, salah satunya melalui pertunjukan cahaya di langit New York yang menghitung mundur.
- Virus sebagai Teror: Asap berwarna merah muda yang menyebar dari pertunjukan itu adalah simbolisasi dari virus yang mereka lepas untuk melumpuhkan dunia, seperti wabah Corona.
- Vaksin Nano Robot: Setelah dunia lumpuh oleh rasa takut, mereka menawarkan solusi berupa vaksin. Namun, vaksin ini berisi nano robot yang dapat mengontrol manusia, mulai dari pikiran hingga kehendak.
- Jaringan 5G.01: Pengendalian ini dilakukan melalui sebuah jaringan frekuensi khusus bernama 5G.01, yang dapat membuat manusia terhipnotis dan lupa waktu, menjadikan mereka mudah diperintah.
Apa yang coba disampaikan penulis melalui narasi ini adalah sebuah ajakan untuk berpikir kritis. Kita hidup di zaman di mana teknologi seperti nano robot (yang dalam dunia nyata dikembangkan untuk pengobatan) dan jaringan 5G adalah sebuah keniscayaan. Novel ini mengajak kita merenung: bagaimana jika teknologi canggih jatuh ke tangan yang salah dan digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan kemanusiaan?
Misi Suci di Tanah Beku: Mencari Dinding Pemisah
Di tengah kekacauan global tersebut, Galin, bersama rekan-rekannya dari 34 negara Islam , memulai sebuah ekspedisi suci: mencari lokasi dinding pemisah yang dibangun oleh Nabi Dzulqarnain untuk mengurung bangsa Yajud dan Majud, sebagaimana yang telah termaktub dalam Al-Quran.
Perjalanan membawa mereka ke Verkhoyansk, Siberia, salah satu desa terdingin di muka bumi, di mana mereka menyaksikan fenomena salju hitam yang ganjil. Di sinilah petualangan mereka memasuki ranah yang lebih sureal, sebuah kota kuno yang tersembunyi di mana waktu berjalan secara aneh. Di kota ini, sebuah cangkir teh bisa tetap hangat selamanya, dan sebuah apel yang telah busuk bisa kembali segar hanya dengan memutar posisinya, seolah waktu berjalan mundur.
Rekan Galin, Bellina, menyadari bahwa mereka terjebak dalam sebuah “gerbang kehampaan waktu”, di mana setiap materi memiliki putaran waktunya sendiri, dan reset terjadi setiap 10 detik. Satu-satunya cara untuk lolos adalah menemukan “garis waktu” yang benar, sebuah konsep yang memadukan fisika modern (ruang-waktu) dengan kearifan kuno.
Refleksi Akhir: Di Mana Batas Antara Peringatan dan Cerita?
“Ekspedisi Tembok Yajud Majud” lebih dari sekadar novel petualangan. Ia adalah sebuah narasi yang menantang pembacanya untuk memikirkan kembali hubungan antara iman dan sains, antara nubuwat kuno dan teknologi masa depan. Penulis dengan berani menyandingkan kisah-kisah dalam kitab suci—seperti kisah Ashabul Kahfi , Nabi Nuh , hingga tanda-tanda akhir zaman seperti munculnya Dabbah —dengan konsep-konsep modern.
Novel ini tidak memberikan jawaban yang gamblang, melainkan melemparkan pertanyaan-pertanyaan besar kepada pembacanya:
- Seberapa jauh kita telah bergantung pada teknologi hingga rentan untuk dikendalikan?
- Dalam dunia yang dibanjiri informasi dan disinformasi, mampukah kita membedakan mana kebenaran dan mana “informasi palsu” yang dirancang untuk menanamkan rasa takut?
- Dan yang terpenting, saat tanda-tanda zaman yang dinubuatkan ribuan tahun lalu terasa semakin relevan dengan kejadian-kejadian hari ini, sudah siapkah kita?
Pada akhirnya, buku ini meninggalkan kita dengan sebuah perenungan. Mungkin, dinding pemisah yang paling sulit ditembus bukanlah dinding besi dan tembaga milik Yajud dan Majud, melainkan dinding di dalam pikiran kita sendiri—dinding yang memisahkan kita dari perenungan akan hakikat keberadaan kita di alam semesta.
Pernasaran ingin membaca Novel nya ? silahkan hubungi penulis/pengarangnya KLIK DISINI