Jujur saja, setiap kali mendengar frasa “Ekonomi Pancasila“, dahi saya seringkali berkerut. Selama ini, konsep tersebut terasa mengawang-awang, seperti sebuah pusaka ideologis yang indah untuk dipajang tetapi sulit untuk digenggam. Ia terdengar seperti kompromi, sebuah jalan tengah yang tidak jelas antara kapitalisme dan sosialisme. Sebuah slogan pemersatu yang, ironisnya, terasa hampa makna dalam praktik sehari-hari.
Namun, baru-baru ini saya membaca sebuah dokumen dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang berjudul “Pokok-Pokok Ekonomi Pancasila”. Awalnya skeptis, saya mencoba membacanya dengan pikiran terbuka. Dan saya menemukan sesuatu yang berbeda. Dokumen ini bukan sekadar puji-pujian terhadap ideologi, melainkan sebuah upaya serius untuk membedah masalah ekonomi kita dan menawarkan sebuah kerangka kerja yang, setidaknya di atas kertas, terlihat konkret. Ini adalah upaya untuk mengatakan bahwa Ekonomi Pancasila bukanlah sekadar konsep “abu-abu”, melainkan sebuah sistem dengan identitasnya sendiri.
Cermin Retak di Depan Mata
Dokumen BPIP ini tidak ragu untuk memulai dengan diagnosis yang cukup pedih. Kita sering berbangga dengan angka pertumbuhan PDB, tetapi apa artinya angka itu jika realitanya seperti ini: Pertama, kue pembangunan ternyata tidak terbagi rata. Pertumbuhan ekonomi selama belasan tahun nyatanya hanya benar-benar dinikmati oleh segelintir kelompok paling kaya. Kesenjangan, atau yang sering kita sebut ketimpangan, menjadi jurang yang semakin dalam. Kedua, ekonomi kita didominasi oleh segelintir pemain besar. Dokumen ini secara blak-blakan menyebut adanya indikasi keberadaan oligarki yang membuat kekuasaan ekonomi terpusat di tangan sekelompok kecil orang kaya. Akibatnya, persaingan usaha menjadi tidak sehat dan yang kecil semakin sulit untuk tumbuh. Ketiga, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang selalu kita elu-elukan sebagai tulang punggung ekonomi, ternyata masih sangat rapuh. Meskipun jumlahnya jutaan dan menyerap tenaga kerja terbanyak, kontribusi mereka belum sebanding dengan usaha besar jika dilihat dari produktivitas per unit usaha. Mereka masih berjuang keras hanya untuk bertahan hidup.
Potret ini seakan menjadi cermin retak bagi kita semua. Ada jarak yang lebar antara cita-cita Pancasila tentang keadilan sosial dengan kenyataan pahit yang kita hadapi setiap hari. Inilah, menurut saya, titik berangkat paling jujur dari dokumen tersebut.
Bukan Sekadar Bisnis, Tapi Soal Kemanusiaan
Lalu, apa solusi yang ditawarkan Ekonomi Pancasila menurut BPIP? Ia bukanlah resep instan, melainkan sebuah perubahan cara pandang yang fundamental. Ini adalah sistem ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada laba, tetapi dilandasi oleh moralitas dan etika Pancasila. Yang paling menarik bagi saya adalah bagaimana sistem ini memandang manusia. Kita bukan sekadar homo economicus, makhluk rasional yang hanya mengejar keuntungan pribadi. Kita adalah makhluk sosial yang hidup dalam kebersamaan (gotong royong) dan juga makhluk spiritual yang memiliki pertanggungjawaban kepada Tuhan. Artinya, setiap keputusan ekonomi—mulai dari kebijakan pemerintah hingga praktik bisnis—tidak boleh lepas dari dimensi kemanusiaan dan ketuhanan.
Inilah yang membedakannya. Jika kapitalisme cenderung mengagungkan individu dan sosialisme mengagungkan negara, Ekonomi Pancasila mencoba menempatkan “kekeluargaan” sebagai porosnya. Bukan keluarga dalam arti sempit, tapi semangat bahwa kita semua adalah bagian dari satu keluarga besar bernama Indonesia, di mana yang kuat tidak menindas yang lemah, dan kemakmuran dinikmati bersama.
Lima Mimpi yang Ingin Diwujudkan
Dokumen ini kemudian merinci “mimpi” tersebut ke dalam lima tujuan yang lebih membumi. Saya melihatnya sebagai sebuah daftar periksa bagi negara:
- Ekonomi yang guyub: Membangun usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan.
- UMKM naik kelas: Memperkuat posisi usaha mikro dan kecil agar mereka bisa menjadi pemain utama, bukan hanya pelengkap.
- Arena bermain yang adil: Menciptakan ekosistem usaha yang sehat di mana semua punya kesempatan yang sama untuk tumbuh.
- Kekayaan alam untuk rakyat: Memastikan sumber daya alam kita benar-benar dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan segelintir pihak.
- Hidup yang layak untuk semua: Menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang manusiawi.
Kelima poin ini, bagi saya, adalah janji kemerdekaan yang harus terus ditagih. Dan Ekonomi Pancasila mencoba memberikan peta jalan untuk menunaikannya.
Negara sebagai Wasit dan Pelindung
Satu hal yang digarisbawahi adalah peran negara. Dalam sistem ini, negara tidak bisa hanya duduk manis dan membiarkan pasar bekerja sesukanya. Negara harus aktif, menjadi wasit yang memastikan permainan berjalan adil dan menjadi pelindung bagi mereka yang lemah. Negara harus berani mengintervensi ketika terjadi ketidakadilan dan ketimpangan. Namun, ini bukan berarti negara menjadi monster yang mengontrol segalanya. Kedaulatan tetap di tangan rakyat. Rakyat, melalui UMKM dan koperasi, adalah mesin penggerak utamanya. Negara hadir untuk memfasilitasi, bukan mendominasi.
Membaca dokumen ini membuat saya berpikir, mungkinkah ini jawaban yang selama ini kita cari? Tentu, ini baru sebatas kerangka di atas kertas. Tantangan terbesarnya adalah menerjemahkannya menjadi kebijakan nyata yang berani, konsisten, dan bebas dari kepentingan sesaat. Perjalanan dari konsep ke implementasi akan sangat terjal dan berliku.
Namun, setidaknya, dokumen ini berhasil melakukan satu hal penting: ia menarik Ekonomi Pancasila dari langit ide-ide abstrak dan mencoba membumikannya. Ia memberi kita harapan bahwa Pancasila bukan sekadar slogan, melainkan bisa menjadi kompas moral dan peta jalan nyata untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan sejahtera bagi kita semua. Ini adalah sebuah ikhtiar yang patut kita kawal bersama.
Artikel ini di sarikan dari Ebook Pokok-pokok Ekonomi Pancasila.