Program barak militer ala Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, yang kini kembali mencuri perhatian publik lewat pendekatan tak biasa untuk menangani siswa “nakal”. Program ini memang langsung mengundang pro dan kontra. Ada yang menyebutnya sebagai solusi, ada pula yang menilai pendekatannya terlalu keras untuk dunia pendidikan. Tapi mari kita coba menilai dengan kepala dingin, bukan dengan emosi sesaat.
Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa program ini bukan bentuk penghukuman. Bukan pula ajang mempermalukan siswa yang bermasalah. Justru sebaliknya—program ini lebih mirip tempat “rehab karakter” yang penuh rutinitas terstruktur dan pendekatan personal. Anak-anak diajak keluar dari lingkungan yang tidak sehat, diberi kegiatan yang membangun, lalu diarahkan untuk kembali menemukan jati diri mereka.
Di dalam barak, mereka diajarkan tentang disiplin, kerja sama, kepemimpinan, dan tanggung jawab. Ada aturan yang tegas, tapi juga suasana kebersamaan. Bukan cuma teriakan instruktur, tapi juga percakapan dari hati ke hati. Bahkan Dedi Mulyadi sendiri ikut turun tangan, menjadi pembina langsung. Ia tak cuma memerintah, tapi juga mendengar.
Kita semua tahu bahwa dunia pendidikan kita sedang menghadapi ujian besar: darurat kenakalan remaja. Tawuran, perundungan, penyalahgunaan narkoba, hingga kekerasan seksual mulai marak dilakukan oleh siswa usia sekolah. Namun sayangnya, sistem pendidikan yang ada sering kali tak berdaya.
Guru tak berani menegur karena takut dilaporkan. Orang tua terlalu sibuk atau justru terlalu memanjakan. Anak-anak tumbuh di tengah kebebasan tanpa batas, seperti mobil tanpa rem. Akibatnya, kita punya banyak anak cerdas, tapi minim kendali diri.
Nah, program barak militer ini seolah menjadi rem darurat. Ia hadir seperti pagar bambu yang kokoh tapi lentur. Tegas, tapi tidak mematahkan. Keras, tapi tetap menyayangi.
Sering kali kita bicara soal “pendidikan karakter” seolah itu bisa ditanamkan hanya lewat pelajaran di kelas. Padahal karakter itu dibentuk dari kebiasaan. Bukan dari teori, tapi dari praktik.
Di Korea Selatan, Jepang, atau Singapura, pendidikan disiplin adalah bagian dari kurikulum nasional. Bukan untuk menjadikan anak sebagai robot, tapi untuk membiasakan hidup teratur, hormat pada aturan, dan peduli pada orang lain.
Hal yang sama coba dibangun lewat program ini. Bukan hanya menciptakan siswa yang patuh, tapi membentuk pribadi yang kuat secara mental dan tangguh dalam menghadapi tekanan sosial.
Program ini juga menampar kesadaran kita semua: bahwa selama ini sekolah dan keluarga mulai kehilangan “otoritas moral” di hadapan anak-anak. Dulu, guru dan orang tua bisa bicara tegas. Sekarang, semua serba salah. Sedikit keras, dianggap melanggar hak anak. Terlalu lunak, anak jadi tidak tahu batas.
Langkah Dedi Mulyadi menjadi sinyal bahwa sudah saatnya kita berani bersikap. Bahwa pendidikan itu bukan soal memanjakan, tapi membentuk. Bahwa kasih sayang itu juga bisa hadir dalam bentuk aturan yang tegas.
Daripada hanya jadi program sesaat, kenapa tidak dijadikan model jangka panjang? Pemerintah pusat dan daerah bisa merancang sekolah unggulan berbasis semi-militer atau kongkretnya seperti SMA Taruna Nusantara, tetapi bisa menjangkau siswa yang ada dipelosok. Bukan sekolah tentara, tapi sekolah yang mendidik anak untuk disiplin, punya kepemimpinan, nasionalisme, dan karakter tangguh.
Kurikulumnya tetap bisa mengikuti arah Merdeka Belajar—yang menekankan kecakapan intelektual, skill/keterampilan, dan attitude/sikap (ISA). Tapi dengan tambahan pola hidup yang lebih tertib, kegiatan fisik yang rutin, dan pembinaan mental yang kuat.
Fokus utamanya adalah mencetak generasi muda yang hormat pada guru dan orang tua, tidak mudah menyerah, dan siap menghadapi dunia nyata dengan mental yang kuat.
Pendidikan yang terlalu lembek hanya melahirkan generasi rapuh. Tapi pendidikan yang terlalu keras tanpa empati juga gagal membentuk manusia utuh. Maka, seperti dua sisi mata uang, ketegasan dan kepedulian harus berjalan beriringan.
Dedi Mulyadi, lewat program baraknya, mencoba menyeimbangkan itu. Ia tidak hanya mencetak siswa yang “takut”, tapi yang merasa dihargai. Ia tidak hanya membentuk perilaku, tapi membangkitkan semangat.
Dan hari ini, ketika anak-anak muda kita semakin kehilangan arah, mungkin inilah momen yang tepat bagi pendidikan kita untuk tidak lagi hanya mengajar, tapi membentuk. Bukan sekadar mencetak nilai tinggi, tapi mencetak pribadi tangguh.