Kurikulum di banyak satuan pendidikan kita, alih-alih menjadi panduan hidup yang dinamis, justru membeku dalam tumpukan dokumen formal. Ia dijilid rapi, ditandatangani kepala sekolah, disimpan dalam lemari administrasi, lalu dilupakan begitu bel berbunyi. Dalam praktiknya, pembelajaran tetap berputar pada buku teks, ulangan harian, dan target kenaikan kelas.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tampaknya menyadari penyakit lama ini. Melalui Panduan Pengembangan Kurikulum Satuan Pendidikan (KSP) edisi revisi 2024, pemerintah mencoba membongkar cara berpikir yang selama ini mereduksi kurikulum sebagai instrumen birokrasi. Namun, pertanyaannya: akankah panduan baru ini sungguh-sungguh menghidupkan kurikulum di ruang kelas, atau hanya menambah daftar panduan yang tak pernah dipraktikkan?
Ada hal menarik dari dokumen KSP 2024 ini: ia tidak lagi berbicara dalam bahasa normatif. Narasinya lebih berani, lebih mendorong satuan pendidikan untuk bertanya pada dirinya sendiri. Sekolah diminta tidak hanya mengikuti perintah pusat, melainkan merumuskan sendiri: siapa peserta didik mereka? Apa tantangan yang mereka hadapi? Visi seperti apa yang relevan dengan komunitas mereka?
Namun, dalam sistem pendidikan yang masih kental dengan budaya kepatuhan, keberanian untuk bertanya belum tentu sejalan dengan keberanian untuk mengubah.
Penerapan kurikulum kontekstual menuntut guru yang reflektif dan kepala sekolah yang berpandangan strategis. Padahal, banyak guru masih terjebak dalam tekanan administratif, dan kepala sekolah lebih sibuk menyiapkan laporan BOS daripada merancang arah belajar jangka panjang.
Panduan ini berbicara tentang kurikulum sebagai “dokumen hidup”. Tapi untuk hidup, kurikulum membutuhkan ekosistem yang sehat—dan itulah yang masih langka di banyak tempat.
Sentralisme yang Belum Selesai
Salah satu gagasan penting dalam KSP 2024 adalah memberi ruang otonomi kepada satuan pendidikan. Kurikulum boleh berbeda di tiap sekolah, asalkan tetap mengacu pada kerangka nasional. Dalam bahasa kebijakan, ini disebut sebagai “kontekstualisasi”.
Namun, sejarah reformasi kurikulum Indonesia penuh dengan paradoks. Dari KTSP 2006 hingga Kurikulum Merdeka, jargon otonomi tak pernah benar-benar tumbuh menjadi kemandirian. Sekolah masih takut berinovasi. Guru masih khawatir menyalahi pedoman. Supervisi pendidikan belum bergeser dari urusan pelaporan ke upaya pendampingan.
Kurikulum kontekstual bukan hanya soal mengganti tema pelajaran. Ia menuntut keberanian untuk menolak hal-hal yang tidak relevan, sekaligus kecerdikan membaca kebutuhan lokal. Tapi sejauh ini, belum banyak kepala sekolah yang benar-benar menjadikan kurikulum sebagai strategi jangka panjang institusi.
Refleksi atau Formalitas?
Dokumen KSP mendorong evaluasi kurikulum sebagai proses berkelanjutan. Tidak hanya menilai hasil belajar, tetapi juga meninjau ulang relevansi visi sekolah dan metode pembelajaran. Evaluasi ini dilakukan secara berkala: tahunan dan per lima tahun.
Namun, kita patut bertanya: sudahkah sekolah memiliki budaya refleksi?
Kenyataan di lapangan menunjukkan, evaluasi kurikulum kerap menjadi formalitas. Isian kuesioner, laporan rutin, atau presentasi saat visitasi akreditasi. Jarang ada ruang untuk mendengar suara murid, apalagi suara guru honorer yang justru paling sering bergulat dengan realita pembelajaran.
Di sisi lain, pemerintah daerah belum memiliki mekanisme kontrol yang mendorong kualitas refleksi ini. Pendampingan kurikulum masih bergantung pada individu pengawas yang aktif—dan jumlahnya pun terbatas.
Apa yang Terancam Hilang?
Jika panduan ini gagal diwujudkan, maka yang hilang bukan sekadar kesempatan reformasi pendidikan. Yang hilang adalah generasi muda yang bisa tumbuh menjadi pembelajar sejati: anak-anak yang tahu cara berpikir, bukan sekadar menghafal; yang berani bertanya, bukan hanya menjawab.
Kurikulum adalah janji kita pada masa depan. Tapi terlalu lama kita menjadikannya hanya sebagai lampiran proposal pendidikan, bukan arah moral yang hidup.
Panduan KSP 2024 menawarkan peta jalan yang masuk akal. Tapi jalan ini tidak akan berarti jika tetap dipahami sebagai kewajiban administratif. Ia harus menjadi instrumen pembebasan: bagi guru untuk mendidik dengan hati, bagi sekolah untuk berpikir dengan jernih, dan bagi peserta didik untuk tumbuh dengan jati diri.
Kurikulum Butuh Komitmen, Bukan Sekadar Kebijakan
Lebih dari sekadar regulasi, pendidikan adalah proses kebudayaan. Kurikulum hanyalah alat. Tapi bagaimana kita memperlakukan alat itu, akan menentukan seperti apa wajah generasi Indonesia di masa depan.
Apakah kita akan terus membesarkan angka partisipasi sekolah, tapi melahirkan anak-anak yang asing pada lingkungan, bingung dengan identitas, dan rapuh dalam berpikir?
Atau kita berani mengubah dari dalam kelas, dari refleksi guru, dari visi kepala sekolah, dan dari kemauan pemerintah untuk tak hanya membuat panduan, tapi menciptakan sistem yang sungguh mendukung perubahan?
Oleh : Cep Asjul