Nama Soeharto tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang sejarah Republik Indonesia. Selama lebih dari tiga dekade memimpin negeri ini, beliau dikenal sebagai sosok yang tegas, berwibawa, dan mampu menjaga stabilitas nasional. Namun, di balik sosok yang selama ini identik dengan kekuasaan dan ketegasan, tersimpan sisi lain yang lebih personal dan humanis. Sisi ini, sebagaimana dituturkan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, membuka ruang baru dalam memahami pribadi Presiden kedua Republik Indonesia tersebut.
Dalam sebuah diskusi daring, Yusril yang pernah mendampingi Soeharto pada masa-masa krusial menjelang reformasi berbagi kisah dan pengalamannya secara langsung bersama sang presiden. Kisah tersebut memperlihatkan dimensi yang berbeda dari figur Soeharto, yang mungkin belum banyak dikenal oleh masyarakat luas.
Lebih Dekat, Lebih Manusiawi
Yusril mengawali penuturannya dengan menggambarkan Soeharto sebagai pribadi yang jauh dari kesan dingin dan otoriter. “Setelah berinteraksi lebih dekat, kesan saya, beliau bukanlah seorang diktator. Beliau cukup lembut, bahkan seringkali bercanda layaknya manusia biasa,” ujar Yusril dengan nada penuh penghormatan.
Kesan tersebut, menurut Yusril, muncul dari pertemuan-pertemuan yang tidak bersifat resmi, di mana Soeharto menunjukkan sisi kepribadian yang hangat, santai, dan terbuka terhadap percakapan. Pandangan ini menghadirkan warna baru dalam potret sosok pemimpin yang selama ini cenderung digambarkan dari sudut pandang kekuasaan semata. Meski demikian, Yusril tidak mengabaikan kenyataan sejarah bahwa masa kepemimpinan Soeharto diwarnai oleh berbagai kebijakan yang dianggap kontroversial. Dalam upaya menjaga stabilitas nasional, terutama pasca tragedi G30S 1965, diambil sejumlah langkah tegas seperti pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pelibatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam bidang sipil dan pemerintahan.
“Dalam mencapai tujuan tertentu, terkadang diambil langkah-langkah yang mungkin dirasa kurang demokratis,” kata Yusril dengan sikap bijak. Ia menekankan bahwa keputusan-keputusan tersebut harus dilihat dalam konteks zaman, di mana kondisi sosial-politik sangat berbeda dibandingkan era reformasi atau masa kini.
Salah satu tonggak penting yang diingat adalah pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada tahun 1971. Walaupun masih jauh dari sempurna, pemilu tersebut menjadi langkah awal dalam mewujudkan tata kelola negara yang lebih terbuka dan partisipatif.
Kesederhanaan yang Mengakar
Salah satu aspek menarik dari penuturan Yusril adalah gambaran tentang kesederhanaan Soeharto dalam kehidupan sehari-hari. Di luar sorotan publik dan formalitas protokoler, Soeharto dikenal sebagai pribadi yang tidak berlebihan dalam gaya hidup.
Yusril mengenang sebuah momen saat berkunjung ke kediaman pribadi Soeharto. “Beliau sangat sederhana. Di rumah, seringkali hanya mengenakan kaus dan sarung. Bahkan, dalam menjamu tamu, beliau kerap menyuguhkan makanan ringan seperti Pop Mie,” ungkap Yusril.
Pengalaman ini menjadi kontras dengan berbagai tudingan soal gaya hidup mewah dan isu korupsi yang kerap menghampiri masa akhir kekuasaan Soeharto. Menurut Yusril, hingga kini tuduhan tersebut belum pernah dibuktikan secara hukum. Ia mengajak publik untuk tidak mengabaikan sisi kemanusiaan seorang pemimpin, meskipun tetap kritis terhadap perjalanan sejarah yang telah dilaluinya.
Masa Akhir dan Niat Mengundurkan Diri
Menjelang akhir masa kepemimpinannya, Soeharto disebut mulai menunjukkan sikap yang lebih terbuka terhadap aspirasi umat Islam dan proses demokratisasi yang lebih luas. Yusril mengungkapkan bahwa pada tahun 1997, Soeharto sesungguhnya telah berniat mengundurkan diri. Namun dinamika politik dan tekanan dari berbagai pihak membuat langkah tersebut sulit direalisasikan saat itu.
Hingga akhirnya, pada Mei 1998, gelombang reformasi yang dibarengi krisis ekonomi nasional membawa perubahan besar dalam konstelasi politik Indonesia. Soeharto pun resmi menyatakan pengunduran dirinya, mengakhiri era Orde Baru yang telah berlangsung selama 32 tahun.
Refleksi Atas Warisan Kepemimpinan
Kisah yang dituturkan Yusril bukan sekadar nostalgia, melainkan ajakan untuk melihat sejarah secara lebih utuh dan manusiawi. Di balik keputusan-keputusan yang berdampak besar, terdapat pergulatan batin, kerendahan hati, dan niat baik yang mungkin tidak selalu tampak dari luar.
Warisan kepemimpinan Soeharto tentu akan terus menjadi bahan perdebatan dan kajian. Namun melalui narasi yang lebih personal dan jujur seperti ini, publik diberi ruang untuk merenungi bahwa pemimpin, betapapun kuatnya, tetaplah manusia yang tak lepas dari dilema, keterbatasan, dan pilihan-pilihan sulit.
Soeharto dari dekat, sebagaimana dilihat oleh Yusril Ihza Mahendra, menghadirkan potret lain dari seorang kepala negara. Potret yang memperlihatkan kelembutan di balik ketegasan, kesederhanaan di balik kuasa, dan sisi kemanusiaan di balik sejarah yang besar.
Artikel ini disarikan dari Video Youtube Pinter Politik dengan judul : Kisah Soeharto: Dari Pop Mie Hingga Rumah Bocor | Historiografi #2 with Yusril Ihza Mahendra